RETROUVAILLES


Jika ada yang bertanya padaku kapan saat-saat terbaik dalam hidupku, aku akan menyebut kejadian ini adalah salah satunya. Jika ada yang bertanya padaku apakah arti bahagia, aku akan mengatakan bahwa bagiku bahagia adalah dapat bertemu lagi dengannya.
Mungkin ini terdengar berlebihan. Tetapi aku telah menghabiskan nyaris sepanjang usiaku untuk mencintainya. Setelah kepergianku, aku berusaha untuk mencarinya. Tetapi dia juga telah pergi dari tempat kelahiran kami. Bodohnya aku, harusnya aku mengamini pepatah lama yang entah aku dapat dari mana, bahwa cara terbaik untuk menemukan sesuatu adalah dengan berhenti mencarinya.Dan taraaa... dia sudah di depan mata.
Gambar dari sini

Pertemuan ini juga hanya kebetulan. Ah memangnya ada yang namanya kebetulan? Jika memang ada, kebetulan dia masuk ke dalam frame kameraku saat aku sedang meliput kota kami yang baru saja terkena bencana.
“Si centil sekarang udah jadi wartawan.” Ujarnya sambil mengacak-acak rambut pendekku. Aku nyengir.
“Pak tani ngapain jadi dokter? Gak cocok! Udah pulang sana ke kampung!” sengit aku menimpali.
Usai evakuasi hari itu, kami berjanji untuk bertemu kembali di pinggir kota yang tidak mengalami dampak langsung bencana. Sebuah kedai kopi masih berdiri dan buka sekalipun sepi. Suara Alanis Morissette mengalun memenuhi ruangan kedai.
“Tak ada seorang pun yang hidupnya biasa aja. Selalu kebagian ombak. Aku lupa itu kalimat siapa.” Ah seperti bertahun lalu, aku selalu terpesona dengan kata-katanya. Aku hanya diam, menunggu kelanjutan ceritanya sambil menyeruput kopi pelan-pelan.
“Kita memang sudah terbebas dari ancaman banjir, gempa bumi bahkan tanah amblas. Kita sudah melewati tahun-tahun yang diramalkan banyak orang tentang tenggelamnya kota ini.” Aku mengangguk pelan, menyetujui kalimatnya. Aku mulai memahami kemana arah pembicaraan ini akan dibawa.
“Kamu ingat? Dulu kita menolak mentah-mentah jika kelak harus bekerja di kota.”
“Ah ya, dan kita menganggap kampung kita adalah surga, tempat terbaik untuk tinggal.” sambungku. Ingatan tentang belasan tahun lalu itu masih terpampang di depan mata. Semua tentang masa kecil kita, adalah hal-hal yang tak bisa kulupakan.
“Kota ini telah berubah beberapa tahun kemudian. Arus urbanisasi berkurang. Sekalipun berada di pinggir laut dan dibelah sungai. Tak lagi banjir kaya dulu. Masalah banjir kiriman dari kota sebelah yang dijuluki seribu hujan itu juga bukan jadi masalah lagi.” Ucapnya panjang lebar sambil sesekali melihat handphone.
“Jadi itu alasanmu berubah pikiran, dan akhirnya mau tinggal di sini?” tanyaku sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi dan melipat tangan di dada.
“Siapa bilang aku tinggal di sini? Aku ke sini hanya dikirim sebagai relawan.” Aku melongo. Kebiasaan lama muncul kembali. Melupakan basa basi dan langsung ngobrol ke masalah penting.
“Aku terkesan dengan program ruang terbuka hijau dan pemanfaatan energi alam.” Ujarnya, tak mempedulikan kekagetanku. “Air yang dulu jadi musuh, kini dimanfaatin buat menghasilkan listrik dan dipakai buat aktivitas sehari-hari.”
“Tapi tetep aja kan, tata kota sesempurna ini tak bisa menghalau terjangan tsunami kemarin?” dia mengangguk mendengar pertanyaanku, tangannya diketuk-ketukan seirama dengan lagu Ironic-nya Alanis.
“Mungkin karena kita terlalu sombong, kita bisa menaklukan air pasang, angin, hingga volume air yang melimpah menjadi energi. Kita bisa mengubah tanah rawa yang kita pijak jadi padat. Bangunan menjulang kokoh dan tata kota yang indah. Tetapi kita lupa ada kekuatan yang Maha.”
 Aku menghela napas. Mengingat sepuluh tahun berpisah. Aku akhirnya tahu kenapa aku merindukan sosok di hadapanku ini. Aku mulai bertanya-tanya kenapa dulu aku harus memilih pergi. Tiba-tiba aku merasa nyeri di sudut dada.
Aku tak tahu apakah aku mesti berbahagia atau bersedih dengan bencana kali ini. Sesulit inikah untuk bertemu dengannya? Sampai perlu terjangan tsunami agar aku dan dia dapat duduk di depan satu meja yang sama seperti malam ini.
“Hei kamu belum minta maaf!” ujarnya tiba-tiba. Membuyarkan lamunanku.
“Haa maaf untuk?”
“Karena menghilang tanpa kabar, dan ketemu-ketemu udah sukses begini. Sialan!” ucapnya sambil kembali memeriksa jam tangan dan handphonenya.
“Aku udah gak punya siapa-siapa di kampung.”
“Kamu selalu punya aku.” Mata kami beradu. Percikan api itu kembali muncul, dengan getaran yang sama seperti bertahun lalu. Aku takjub, bahkan selama dan sejauh apapun aku pergi, selalu ada jalan untuk kembali.
Maka bolehkah jika aku menganggap profesi ini, musibah ini, adalah skenario untukku? Terima kasih untuk tsunami kemarin, Tuhan. Apa-apaan? Segera kuhapus pikiran nakalku itu. Semahal inikah harga pertemuan kita? Semahal ini kah untuk berbahagia? Harus mengorbankan banyak nyawa dan kerugian untuk skenario ini.
“Oh ya, kita sedang menunggu seseorang.” Dia berdiri dan melongokan kepalanya ke luar kedai. Aku mengeritkan kening. “Nah itu dia!” mataku memandang ke arah dia melambaikan tangannya.
“Hai sayang, aman di jalan? Nih ada Tunita, temen kita waktu kecil.” Dia memandang ke arahku. “Kamu masih ingat Manda kan? Kami sudah menikah beberpa tahun lalu...” setelahnya aku mendengar dia menyebut kata undangan, namaku, sebuah nama kota lain, aku tak mencerna kata-katanya dengan baik.
Mataku masih terpaku pada perempuan di hadapanku, perempuan yang menjadi alasan aku pergi. Bagaimana bisa aku lupa bertanya basa-basi, “Apa kamu sudah menikah?”
Suara Alanis Morissette masih terdengar sayup-sayup. “It’s meeting the man of my dreams, and then meeting his beautiful wife. And isn’t it ironic, don’t you think?

*Retrouvailles: Perasaan bahagia karena bertemu lagi setelah berpisah dalam waktu yang lama (Bahasa Perancis)

20-02-2014
Nufira Stalwart
#4 #MenantangDiri #30HariMenulis

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW: Bulan Merah (Kisah Para Pembawa Pesan Rahasia)

SELEMBAR KERTAS

Mengalahkan Diri Sendiri