Dua Jenis Film Adaptasi


 Don’t judge the book by its movie.

Sebuah ungkapan yang tak mudah untuk diaplikasikan. Bagaimana mungkin kita tidak membandingkan cerita yang kita imajinasikan dalam novel dengan cerita yang divisualkan dalam sebuah film? Tentu saja celetukan semacam “Kok beda ya sama novelnya?” atau “Lebih rame filmnya.” sering terdengar usai menonton film yang diadaptasi dari novel. Tak sedikit juga yang merasa kecewa setelah seseorang menonton film dari novel favoritnya. Padahal, tentu saja yang paling menunggu film adaptasi itu kebanyakan adalah penyuka novelnya.

Hal ini juga penyebab sebuah film adaptasi tak pernah sepi peminat. Sebab biasanya novel yang difilmkan adalah novel yang sukses di pasaran dan membuat orang penasaran. Film adaptasi juga telah memiliki pasar sendiri yaitu para pecinta novelnya yang menunggu film adaptasi tersebut. Sekalipun biasanya mereka yang paling sering dikecewakan.

Sebagai orang yang sesekali mengikuti film yang diadaptasi dari novel, saya kerap bertanya, sebenarnya bagaimana seharusnya sebuah film adaptasi dibuat? Setelah melewati diskusi panjang dengan beberapa orang, akhirnya saya menyimpulkan bahwa sebuah film adaptasi setidaknya dikelompokkan menjadi dua, pertama film yang “setia” dengan novelnya, dan film yang “mengkhianati” novelnya. Kejam banget bahasanya -___-

Film yang setia, sekalipun tidak sampai 100% mampu menginterpretasikan konten dalam novel ke dalam sebuah film, setidaknya pembuatnya berusaha untuk membuatnya semirip mungkin dengan novelnya. Film yang masuk ke dalam kategori ini misalnya Harry Potter and the Deathly Hallows (2010) part 1 dan 2. Kebetulan saya menonton film ini dulu baru baca novelnya. Dan saya merasa tidak begitu terhibur membaca novelnya sebab sebagian besar cerita telah saya dapatkan dari filmnya, sekalipun ada sebagian detail yang tidak ada dalam filmnya.

Kategori kedua adalah film yang mengubah banyak cerita di dalam novelnya. Sebagian besar yang saya tonton masuk ke dalam kategori ini. Sekalipun saya tetap membuat katogeri lain yaitu film adaptasi yang mengubah banyak cerita tetapi tetap berhasil dan gagal total. Tentu saja ukuran berhasil dan tidaknya juga subjektif, setidaknya ukuran menurut saya yang awam dengan masalah film.

Untuk novel dalam negeri, sebut saja Ayat-ayat Cinta (2008). Waktu SMA, saya adalah salah satu pembaca novel AAC yang menunggu filmnya tayang. Tetapi saat menonton filmnya, saya merasa (sependek pengalaman saya mengikuti film adaptasi) itu adalah film terburuk yang pernah saya tonton. Bukan hanya karena cerita atau latar yang berubah tetapi karakter tokoh-tokohnya benar-benar berubah. Film dalam negeri lain yang saya tonton adalah Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009). Saya menganggap bahwa novelnya lebih indah. Karena saya tidak bisa berbuat apa-apa, maka saya memutuskan untuk berhenti menonton film adaptasi dari novel dalam negeri. Misalanya, saya tidak menonton Edensor (2013), Filosofi Kopi (2015) apalagi Supernova Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2014) dari novel Dee, karena alasan-alasan tersebut.

Bukan berarti film adaptasi di dalam negeri tak ada yang bagus. Saya menilai Perahu Kertas (2012) salah satu film yang lumayan bagus. Mungkin karena film ini dibagi dalam dua part sehingga ruang lebih luas dan cerita bisa dibuat lebih mendalam.

Untuk film adaptasi luar, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (2004) adalah salah satu film yang saya suka. Saya rasa film itu sungguh istimewa dibanding seri Harry Potter yang lain. Setelah saya telusuri ternyata film ketiga ini digarap oleh sutradara yang berbeda dengan dua film sebelumnya ataupun lima film setelahnya. Dalam film ini, tidak ada scene yang sia-sia, bahkan saat menyorot pohon yang bergerak pun demi mendukung cerita. Sekalipun saya tahu, ada banyak detail yang dihilangkan tapi nggak mengurangi esensi cerita. Ini juga salah satu film yang sering saya tonton ulang dan hampir nggak pernah bosan.

Film lain yang saya suka adalah The Giver (2014). Bagi siapapun yang ingin menonton filmnya tetapi belum membaca novelnya, saya sarankan baca dulu novelnya deh. Sebab ada hal spesial di dalam novel yang hanya bisa kita nikmati dengan baik jika kita membaca novelnya. Saya suka novelnya, sebab ini adalah novel distopian klasik, nenek moyang dari cerita-cerita distopian setelahnya (termasuk Divergent series). Kekhasan distopian klasik yaitu lebih kuat pada pesan daripada actionnya.

Sebenarnya saya tidak begitu antusias saat novel ini difilmkan, tetapi ternyata filmnya menarik. Saya bahkan tidak keberatan saat terjadi perubahan karakter, setting dsb. Karena ternyata hasilnya lebih bagus. Misalnya saja karakter Fiona dan Asher, dua teman baik tokoh utama yang pekerjaannya diubah, tetapi justru mendukung cerita dan pergerakan karakter utama tetap menjadi fokus penonton.

Lalu, adakah film adaptasi yang filmnya lebih bagus? Ada! Menurut saya, salah satu diantaranya adalah The Hobbit. Filmnya lebih rame, banyak eksplorasi di sana sini dibandingkan dalam novel yang cenderung monoton. Mungkin karena film ini dibagi menjadi 3 part, seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, ruangnya lebih luas. Kelebihan filmnya adalah banyaknya action sedangkan kekuatan novelnya ada pada detail. Tentu saja ada detail cerita dalam novel yang tidak akan didapatkan oleh orang yang hanya menonton filmnya.

Film lain yang saya tonton dan justru membuat saya kecewa adalah Insurgent (2015). Saya rasa, karakter Tris sebagai tokoh utama malah terlihat lemah (saya memang tidak tahu banyak masalah acting tapi pemeran Tris tidak bisa mengimbangi kekuatan karakter Four), juga karena penggambaran Amity yang kurang mendalam (sebab ini adalah faksi favorit saya haha), ditambah ada pesan penting di ending yang seharusnya muncul tetapi tidak ada. Detail itu bahkan kembali muncul di novel Allegiant paragraf pertama tetapi diabaikan di film Insurgent (2015). Saya menunggu sampai akhir tetapi tidak muncul. Bagi siapapun yang membaca novel dan menonton filmnya tentu mengerti apa yang saya maksud. Insurgent (2015) juga melakukan perombakan besar dalam cerita. Tetapi ada hal yang kemudian berkesan bagi saya yaitu efek digitalnya yang cukup menghibur.

Well, saya masih bisa menerima sebuah film adaptasi yang ceritanya berubah atau justru membosankan karena sama persis dengan novelnya. Tetapi, pada akhirnya, bisakah kita (saya) menjadikan novel sebagai dirinya sendiri dan film sebagai dirinya sendiri?



(Ditulis untuk memenuhi tantangan menulis #10DaysKF hari kelima tentang 3 film yang paling berkesan.)

Comments

  1. Aku setuju banget yg AAC itu. Baca novelnya terus nonton filmnya, sumpah sakit hati. Sampai kusumpah2im tuh sutradaranya, saking jengkelnya ga sesuai ekspektasi. Hahaha.

    Harry Potter emang the best untuk kategori film adaptasi, meski sutradaranya ganti2, tapi rasa Harpotnya tetep ada.

    Ngg... aku nonton Divergent series ga pake baca novelnya. *lalu menyesal

    Ngg... mba, bedanya distopian dengan embel2 lainnya sama distopian klasik itu apa ya? Hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku nggak merasakan spirit novel AAC muncul di filmnya. Novel Divergent lumayan bagus, aku suka tapi lebih suka The Hunger Games. Sepemahaman aku, distopian itu cerita yang berlatar dunia baru, bukan jenis dunia dengan tatanan yang kita kenal. Aku bilang klasik karena buku terbitan lama sih hehe khasnya buku klasik tu masih relevan dan menyenangkan dibaca hingga saat ini.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)