Mengenang Masa Kecil di Gununghalu

 
Berbicara tentang kampung halaman, tentu saya tidak akan lepas dari masa kecil dan masa-masa sekolah. Sebab setelah melewati masa sekolah saya memutuskan untuk kuliah dan kerja di tempat yang berbeda dan belum berencana untuk kembali lalu menetap di kampung halaman saya, Gununghalu.

Kampung halaman yang saya kunjungi sesekali itu bisa dikatakan terletak di ujung dunia bahkan dahulu tidak tercantum dalam peta. Setiap kali ditanya Gununghalu itu di mana, saya selalu bilang Kab. Bandung Barat. Karena mendengar kata Bandung, biasanya orang ber-oooh panjang sambil berujar, "deket atuh." Padahal butuh waktu setidaknya empat jam perjalanan dengan menggunakan elf atau bis Jembar Sari, dua angkutan khas yang melayani rute Bunijaya-Ciroyom dan sebaliknya.

Ingatan tertua saya tentang kampung halaman adalah tentang sebuah sekolah dasar yang jaraknya sekitar 5km dari tempat saya tinggal. Setiap hari, kami harus melakukan perjalanan pulang pergi dengan berjalan kaki. Sekolah kami adalah sebuah bangunan tua yang sudah lama tidak tersentuh cat sehingga perpaduan warnanya hanya terdiri dari abu dan coklat. Jika musim hujan tiba, ruangan kelas itu berubah menjadi tempat penampungan air hujan yang merembes melewati genting-genting yang bocor di sana-sini. Lalu dengan riang hati, kami akan melepaskan alas kaki dan mengakrabi air yang tergenang di bawah kaki-kaki meja dan kursi alih-alih menunggu genangan air itu surut dengan sendirinya. Lapangan di halaman sekolah pun akan berubah menjadi hamparan lumpur sehingga kami batal melaksanakan rutinitas upacara bendera pada Senin pagi.

Tak pernah sekalipun saya mendengar keluhan dari teman atau orang tua kami tentang kondisi sekolah seperti ini. Pun ketika salah seorang teman kami harus mengalami cedera di kepala karena tertimpa patahan kayu dari atap kelas. Beberapa tahun setelahnya saya meembaca buku Laskar Pelangi dan terkenang masa-masa itu. Saya pikir, alasan kenapa kami tak pernah mengeluh ataupun protes, tersebab kami pikir di belahan bumi mana pun seperti inilah yang disebut sekolah. Pikiran-pikiran polos kami tak punya perbandingan tentang bagaimana sebuah bangunan sekolah seharusnya. Untungnya, bangunan itu hanya terdiri dari tiga kelas saja, setelah masuk kelas 4, kami akan pindah ke lokasi yang agak jauh. Kondisi bangunannya sudah lebih baik dengan pagar sekolah berwarna warni. 

Salah satu hal yang saya kenang dari masa sekolah adalah keberadaan sebuah rak berisi banyak sekali buku cerita. Letaknya ada di ruang guru. Bisa dibilang itu adalah sebuah perpustakaan mini, sebelum adanya sebuah bangunan khusus perpustakaan yang dibangun beberapa tahun setelah saya lulus.

Pada saat istirahat, saya senang berlama-lama melihat dan membaca buku-buku di rak itu. Sebagian saya bawa pulang untuk saya selesaikan di rumah, sekalipun ini saya lakukan diam-diam lalu mengembalikannya ke tempat semula secara diam-diam. Saya teringat, gara-gara buku cerita berlabel Milik Negara Tidak Diperjualbelikan itu, saya pernah memiliki keinginan mencoba menanam bonsai seperti yang dilakukan salah satu tokoh dalam cerita. Pun saya mengenal kota Payakumbuh dan Bukittinggi yang menjadi latar cerita dan ingin sekali berkunjung ke sana suatu saat nanti lalu membuktikan beberapa detail yang saya dapatkan dari buku tersebut.

Baru di kemudian hari saya sadar bahwa ternyata kebiasaan saya semasa kecil lah yang membuat saya ingin terus membaca. Buku-buku milik negara itu sebenarnya kebanyakan bergenre detektif dengan tokoh anak-anak. Bisa dibilang, buku-buku tersebut adalah Lima Sekawan-nya Enid Blyton bernuansa lokalitas.

Selain di perpustakaan sekolah, saya juga mendapatkan sumber bacaan dari saudara sepupu saya yang membuka penyewaan buku. Buku-buku tersebut dikirimkan saudaranya dari kota. Itulah kali pertama saya mengenal komik Jepang dan komik stensilan yang isinya berupa azab kubur dan siksa neraka. Tetapi saya tidak begitu antusias membaca komik hingga sekarang, karena merasa pusing melihat perpaduan teks dengan gambar.

Saat memasuki sekolah menengah, bangunan perpustakaannya sudah lebih luas dan koleksi bukunya lebih banyak. Saya merasa bangga karena saat belasan tahun setidaknya saya pernah bersentuhan dengan karya besar dunia semacam Tom Sawyer karya Mark Twain, Lima Sekawan, ditambah serial Goosebumps dan tentu saja lebih banyak lagi buku Milik Negara Tidak Diperjualbelikan yang tersohor itu.

Kenangan saya tentang kampung halaman yang saya punya memang sebatas itu sebab setelahnya saya melanjutkan SMA di kecamatan yang berbeda. Kini Gununghalu sudah jauh berbeda. Akses jalan sudah lebih baik, daerah yang dahulu terkenal sangat dingin kini mulai hangat. Bahkan tempat seterpencil itu pun terkena dampak global warming. Barangkali karena tempat yang dahulu didominasi hutan dan kebun kini mulai banyak dijadikan untuk mendirikan bangunan. Banyak juga wisatawan yang penasaran dengan keindahan alam terutama keberadaan Curug Malela yang terkenal mirip Niagara mini.

Gununghalu sesungguhnya tidak hanya menyimpan kenangan saya tentang masa kecil tetapi juga selalu menjadi tempat saya pulang. Saya mencintai tempat ini, juga untuk pertama dan terakhir kalinya saya jatuh cinta dengan seseorang yang dilahirkan di sini.




(Ditulis untuk #1Minggu1Cerita)


Comments

  1. Hai mbak fira (panggilannya mbak fira bukan ya?)..hehehe sok kenal..baca ceritanya tentang kampung halaman di gunung halu,sy langsung teringat curug malela..pernah kesana dan terasa jauuuuh banget serasa mo pergi ke negeri mana gt..tp udaranya seger krn masih asri lingkungannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, saya cantumkan link tentang pengalaman saya ke Curug Malela di atas. Main ke Gununghalu itu jauh, melelahkan tapi terbayar :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)