What I Talk About When I Talk About Myself*
Just remember, someone loves everything you hate about yourself.
-Frank Ocean
Atau justru sebaliknya? Somebody out there hates about everything you love about yourself.
Dalam berinteraksi
sosial, sering kali saya mengalami silang pendapat atau berada dalam kondisi
tidak nyaman dengan seseorang. Padahal sebagai seseorang yang mengaku orang
plegmatis, saya sangat menghindari konflik sekecil apapun. Saya lebih memilih
duduk di bangku belakang, sibuk dengan diri sendiri atau sibuk mengamati orang
lain.
Seseorang pernah memberikan saya petuah, "Jangan tunjukkan
kelemahanmu di depan orang lain, jangan berikan orang lain kesempatan untuk
menghancurkanmu. Justru sebaliknya, tunjukkanlah kelebihanmu, agar orang lain
berpikir seribu kali untuk menghancurkanmu."
Karena saya pikir tak banyak
yang peduli dengan kehidupan saya apalagi harus susah payah menghancurkan
saya. Jadilah saya hanya menunjukkan hal-hal yang saya ingin orang lain
lihat dan nilai dari diri saya. Tapi...
bukankah semua orang melakukan hal yang sama?
Apa yang saya tunjukkan di depan umum atau sosial media semuanya hanya urusan permukaan saja.
Dari situ, tentu ada hal-hal yang membuat orang lain beropini, padahal bisa
jadi opini itu tidak sesuai dengan faktanya, misalnya:
1. Jutek
Suatu hari, di acara Kampus
Fiksi Emas, saya berkenalan dengan salah satu peserta.
Karena saat itu mood saya sedang tidak terlalu bagus, di hadapan banyak orang,
dia nyeletuk, "kok wajahmu jutek banget." Saya kaget, teman-teman
seangkatan saya yang waktu ada di ruangan yang sama dan lebih lama mengenal
saya pun terbengong-bengong.
Apa iya saya terlihat sejutek itu? Barangkali iya. Wajah saya disetting terlalu serius, sering
mengerutkan kening dan tak punya wajah ramah. Barangkali itulah kenapa dia sampai berterus terang menyebut saya jutek.
Saat itu saya tidak membantah karena dua hal. Pertama karena
mungkin memang seperti itulah saya,
hanya saja saya tidak sadar. Kedua, karena saya kaget dan merasa itu pernyataan
yang sangat konyol. Saat kita melihat sesuatu yang ganjil dalam diri seseorang
bisa jadi kita menggerutu atau ngedumel, tapi biasanya cukup dalam hati saja,
tidak diutarakan saat itu juga di depan banyak orang. Terlebih di pertemuan
pertama.
Pada kenyataannya, saya
bukanlah orang yang asik diajak berlama-lama ngobrol atau chatting. Tetapi di
depan orang yang saya percaya, saya bisa sangat terbuka dan apa adanya, bahkan
kesulitan menjeda pembicaraan. Terlebih saat sedang sangat bahagia.
2. Bisa Bahasa Arab
Sekalipun kuliah 4 tahun di
jurusan Bahasa Arab, plus kuliah di tempat lain untuk jurusan yang sama, tidak
bikin saya mahir Bahasa Arab. Seringkali saya ditanya apa arti kata ini atau
itu, atau diminta menjelaskan satu ungkaan padahal saya sudah hampir lupa
dengan apa yang pernah saya pelajari. Barangkali karena saya tidak
sepenuh hati mempelajarinya pun saya sudah melenceng jauh dari jurusan yang
saya pilih tahun sembilan tahun lalu
itu.
3. Ngajar
Setiap kali ditanya jurusan kuliah lalu dilanjutkan dengan pertanyaan
masalah pekerjaan, saya selalu dikira
sebagai pengajar. Barangkali karena jarang sekali saya berbagi tentang
pekerjaan saya pada orang lain atau
lewat media sosial. Seperti
yang saya ungkapkan di atas, saat ini saya bekerja di bidang yang agak
melenceng jauh dari jurusan tetapi begitu dekat dengan passion saya.
Alhamdulillah.
4. Sering dikira masih kuliah
Saat bertemu dengan orang
baru atau naik gojek, saya
kerap ditanya kuliah di mana. Saya yakin bukan karena wajah saya
imut-imut, tapi karena
kebiasaan saya memakai tas gendong kemana-mana. Entah kenapa saya suka sekali memakai ransel dibandingkan
tas selempang. Beberapa
teman, bahkan ibu saya sering menegur
saya karena saya enggan
memakai tas yang lebih
feminim. Tetapi saya belum berminat mengubah selera dan masih nyaman dengan tas
ransel.
5. Bookworm
Dari media sosial tentu banyak yang mengira kalau saya ini bookworm
atau bookaddict karena kerap
memposting soal buku. Padahal kalau mengacu penjelasan dari artikel ini, saya tidak termasuk
keduanya. A bookworm is a person who compulsively reads books. A book addict is a person who compulsively buys books.
Sedangkan saya, seperti halnya Faraziyya, hanyalah seorang booklover.
Daya baca saya masih rata-rata bahkan sekarang mulai menurun. Biasanya dalam setahun saya bisa melahap lebih dari
40 buku, tapi tahun 2016 saya hanya mampu menyelesaikan 20an buku. Jadi saya bukanlah kutu buku. Saya juga bukan bookaddict karena hanya membeli
satu dua buku setiap bulannya dan lebih senang meminjam buku di perpustakaan. Saya
hanya seseorang yang sesekali menghabiskan waktu untuk membaca buku, pun kalau
bukunya menyenangkan dan saya punya waktu luang.
Itulah 5 hal tentang diri
saya yang saya kira berbeda dengan opini orang lain selama ini. Atau ternyata
sebenarnya orang lain tahu tentang saya dan bisa membaca tentang diri saya
seperti membaca buku yang terbuka. Entahlah...
(Ditulis untuk memenuhi
tantangan menulis #10DaysKF hari kedelapan)
*Menuliskan judul ini
sambil terkenang dengan memoar Murakami berjudul What I Talk About When I
Talk About Running
Dulu pas awal kenal, aku nggak ngerasa kalo mbampit jutek malah~~
ReplyDeleteRada bingung juga ada yg bilang jutek 😌
Jadi gimana kesan pertama kenal aku, fa? *curious*
DeleteKesan pertama kenal, mbafir itu pendiem. Kayak aku wkwk. 😂
DeleteJadi inget pas KF 10 kita duduk sebelahan ya mba wkwk
Kesan pertama kenal, mbafir itu pendiem. Kayak aku wkwk. 😂
DeleteJadi inget pas KF 10 kita duduk sebelahan ya mba wkwk