However Clumsy, It’s My Life
Saat masih duduk di bangku
sekolah, saya termasuk tipikal siswa
study oriented, pejuang ranking dan anti nyontek. Kalau mengingat-ingat masa
itu, saya kerap pengen ketawa sendiri, bahkan saya tumbuh menjadi anak SD yang
pelit ngasih sontekan pada teman sebangku. Saya bukan
tipikal anak yang mengedepankan solidaritas untuk
sesuatu yang sifatnya formalitas.
Terlihat kaku dan tidak menyenangkan untuk dijadikan teman.
Saat SMA saya pernah diajari bibi
saya bagaimana cara menyontek yang baik dan benar hahah... Jika umumnya orang
membuat sontekan di secuil kertas,
bibi saya menyarankan untuk menuliskan rumus di selembar kertas, lalu
melipatnya hingga menyerupai tangga atau seperti hendak membuat origami kipas.
Nah dengan lipatan seperti itu, memungkinkan saya untuk mempersempit ruang
karena saya tidak perlu membentangkan kertas, tapi cukup membuka lipatan itu
satu persatu sampai saya menemukan jawaban yang saya cari. Saya sering membuat
kumpulan rumus atau rangkuman sesuatu dengan cara yang diajarkan bibi saya.
Tetapi saya tidak punya nyali untuk menjadikannya sebagai sontekan saat ujian.
Setelah lulus kuliah, saya kerap mendengar cerita teman-teman saya yang
sibuk menyontek terutama saat ujian sekolah. Mereka terheran-heran ketika saya
bilang saya nggak nyontek dan tentu saja teman-teman saya tidak melanjutkannya
dengan kata-kata pujian, malah sebaliknya.
Masalahnya kalau nggak lulus gimana? Ngulang tahun
depan bukannya mengerikan?
Sifat study oriented itu ternyata agak menyulitkan kehidupan saya
setelahnya. Jika dahulu jadwal saya teratur, goal saya jelas, saya tahu langkah
nyata apa yang harus saya lakukan, deadline pun sudah ditentukan. Kehidupan
saya saat itu ternyata lebih mudah dan menyenangkan. Rasanya saya tinggal
mengikuti arus saja tanpa perlu bersusah payah berjuang. Tetapi kini, di
kehidupan nyata, ketika jadwal, tujuan hidup atau deadline harus saya tentukan
sendiri, saya mulai kewalahan. Saya tidak tahu harus bagaimana. Berulang kali
saya membuat jadwal, perencanaan, resolusi, tetapi nyatanya tidak membuat saya
lebih baik. Saya akhirnya berkesimpulan bahwa sekolah adalah zona nyaman saya,
dan sesuatu yang dulu saya kejar, prestasi yang saya banggakan, hari ini tidak
membawa saya kemana-mana. Tidak lantas membuat hidup saya mudah.
Saya kehilangan kesempatan untuk sesekali bolos atau melanggar aturan. Kehilangan
waktu untuk sekadar bersenang-senang dan mencari teman. Tak ada yang meremehkan
saya sebenarnya, setidaknya saya tidak pernah mendengar, atau mungkin saya
tidak peka? Tetapi diri saya saat ini kerap mempertanyakan kenapa saya tumbuh
menjadi anak yang polos dan kaku? Yang pada akhirnya membentuk diri saya
seperti saat ini, lebih senang berkutat dengan dunia sendiri daripada bergaul keluar
rumah dan menikmati hidup selayaknya anak muda pada umumnya.
Saat ini, di tempat kerja, saya kerap terbengong-bengong melihat orang lain
mengobrolkan tentang film yang semalam mereka tonton atau kejadian menyenangkan
yang mereka lewati saat makan di luar. Sedang saya satu-satunya orang yang enggan
bergabung dan lebih memilih pulang ke kosan selepas jam kerja, sekalipun hanya
diisi dengan melamun atau leyeh-leyeh. Terdengar membosankan bahkan
menyedihkan, bukan?
Tapi pada akhirnya saya sadar, jika tanpa melewati itu semua, tanpa masa kecil
saya seperti itu, saya tidak akan menjadi diri saya yang sekarang. Jika saya
tidak bertindak sepolos itu mungkin saya akan menjadi diri saya yang tidak saya
kenal. No matter what, however clumsy, it’s my life. And I love it.
(Ditulis untuk memenuhi tantangan menulis #10DaysKF hari keenam bertemakan
tentang hal yang kamu banggakan dan bisa jadi hal yang diremehkan orang lain)
Comments
Post a Comment