Berakhlak Mulia Itu Terkadang Membiarkan Orang Untuk Mencacimu, Memakimu, Menghinamu, Sedang Kau Senantiasa Berhusnudzan


Ada yang pernah memakimu, menghinamu, merendahkanmu sedemikian rupa? Padahal setahumu kau tak memiliki kesalahan padanya. Simaklah kisah berikut ini tentang sosok yang menjadikan kesopanan, kesantunan, dan kesederhanaan sebagai pakaian hidupnya.

****

Pagi menjelang, hening disini, panas menyergap, angin tergesa berembus menjauh dari ganas sahara menyapa manusia yang terantuk di jalan-jalan pinggir pasar, juga riuhnya burung bercanda dengan sinar mentari yang menyelusup di sela pepohonan juga dedaunan. Cahaya mentari yang sama juga menyentuh seraut wajah, dengan mata yang menyorotkan wibawa, tubuh yang terbalut kain seadanya tak semewah raja-raja Persia, kesederhanaan yang diliputi kecerdasan dan keluhuran budi. 

Sepagi ini, kau duduk di pekarangan rumahmu, apa yang hendak kau amati? Apa yang memenuhi pikiramu? Sedang tasbih, tahmid tak henti teruarai dari lisanmu. Tiba-tiba matamu menangkap sesosok tubuh yang tergopoh menghampirimu, hitam legam kulitnya, tegap gagah perawakannya, kau tak mengenalnya barangkali, tapi kau tahu yang menghampirimu itu seorang Arab Badui yang ternyata kurang ajar sekali, setelah ia mendapatimu ia langsung menunjukan kelima jemarinya padamu, dan mulai mencacimu, memakimu tak karuan, menghinamu, mengejekmu.

Apa yang kau tunjukan saat itu? Kau hanya tersenyum, senyuman yang mulai membuat kesal Arab Badui itu, senyuman yang melumat habis sumpah serapahnya, meluruhkannya seperti segenggam pasir diatas batu yang tersapu angin, terusir guyuran hujan.


Arab Badui itu mulai kesal karena responmu itu, ia kehabisan ide apa yang harus ia lakukan, ia kehabisan kata-kata untuk menyusun kalimat apa lagi yang harus ia utarakan, ia kehabisan cara untuk memancing amarahmu. Ia mulai membawa-bawa Ayah dan Ibumu menghina mereka sedemikian rupa, ahhh aku tak habis pikir melihat tingkah Arab Badui itu bagaimana bisa ia menghina orang tuamu padahal seluruh dunia tahu kemuliaan mereka, kecerdasan ayahmu, kesederhanaan ibumu, kebersahajaan mereka juga kualitas keimanan mereka. 

Kau masih tersenyum dan mulai bertanya dengan kalimat selembut mungkin, dan kau memang selalu berkata lemah lembut.

“Apa yang anda inginkan tuan ? Apa anda lapar? Atau ada persoalan yang membuatmu kesal ? Utarakan saja, mungkin saya bisa sedikit membantu.”

Arab Badui itu mulai keheranan, menyadari amarahmu tidak terpancing secuil pun. Ia malah terus memakimu dengan makian yang paling kasar yang jarang pernah didengar orang-orang saking kasarnya. Kau mengulangi kalimatmu.

“Oya, mungkin anda perlu uang?” seraya beranjak dari tempat dudukmu dan memanggil khadim di rumahmu, kemudian memerintahkannya untuk membawa sebuah kantung kecil berisi uang. Kantung itu pun dibuka di hadapan Arab Badui itu, lantas tanpa menghilangkan rasa hormat kau mulai berucap.

“Saudaraku, maafkanlah jika aku memiliki salah padamu. Ini ada sedikit uang, silakan kau ambil, hanya itu yang saya punya.”

Kalimat yang meluncur dari lisanmu yang senantiasa basah dengan tasbih itu pun mulai meluluhkan hati Arab Badui itu, sikapnya mulai melunak, nada bicaranya mulai menurun, dan ia mulai menangis, sesegukan di hadapanmu, terbata-bata sebuah kalimat meluncur dari mulut Arab Badui itu.

“Wahai Hasan cucu Rasulullah, maafkan saya, maafkan sikap saya tadi, maafkan kelakuan kasar saya kepada anda. Tidak ada niat buruk dari hati saya, saya sungguh hanya ingin tahu, keluhuran budi dan kemuliaan akhlak putera Ali dan Fatimah. Sungguh saya keliru bahwa amarah anda akan terpancing, seyakin-yakinnya saya percaya keluhuran akhlakmu. Tolong maafkan saya.”

***

Boleh jadi, ketika kita berada pasa posisi Hasan Bin Ali, kita sudah sama-sama emosi dan meluapkan amarah karena hinaan itu, karena hinaannya bukan karena kita benar-benar melakukannya. Padahal, cacian atau hinaan itu tidak akan lantas menjatuhkan keluhuran budi seseorang. Pun juga pujian setinggi-tingginya tidak akan berhasil memuliakan seseorang  yang sesungguhnya hina.

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Menulis sebagai Passion, Pekerjaan atau Hobi?

Hanya Isyarat [Rectoverso]

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Belajar tentang Gaya Hidup Minimalis dari 5 Youtubers Ini