Dilarang Membaca

Judul yang provokatif bukan? Hehe... Sebenernya saya mau cerita tentang pengalaman saya yang pernah dilarang membaca buku. Sepanjang ingatan saya sih baru ada dua orang yang pernah jengah melihat saya yang dikit-dikit buka buku, tidur ditemenin buku, lagi nyapu diem dulu gara-gara nemu potongan koran di lantai, dsb.
Kali-kali pasang foto sendiri, jangan dari google terus ah :p
Orang yang pernah ngelarang saya baca buku tuh Eni (alm nenek). Waktu SMA saya tinggal bersama Eni dan Engki (panggilan saya buat nenek dan kakek dari ayah). Tepatnya sih beliau melarang saya membaca buku selain buku pelajaran. Jadi saya gak bisa baca novel, majalah apalagi komik, di depan beliau.
Yah, karena saya nakal dan lungguh tutut[1], saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membaca novel. Jadi saya suka meneyelundupkan beberapa buku selain buku pelajaran ke kamar, lalu diam-diam membacanya. Yang paling aman sih membaca buku di sekolah, bisa di kelas atau di perpustakaan. Saya tidak menentang pandangan beliau, karena memang bener, waktu sekolah bacaan prioritas saya ya buku pelajaran bukan Petualangan Lima Sekawan.

Nah, beberapa hari yang lalu. Ada temen juga yang negur, tepatnya itu kali kedua dia negur saya. Waktu dia masuk ke kamar kost saya, ada dua buku tertumpuk di atas kasur, lalu di saat yang sama saya sedang mengeluarkan tiga buku tebal dari dalam tas.
"Kamu mah maca teh nu kitu wae ih!"[2]
"Terus kudu maca naon?"[3]
"Nya kamu teh jurusan Bahasa Arab lin?"[4]
"Iya, kenapa gitu? Da teu ngarti buku Bahasa Arab mah."[5]
"Eh kumaha sih, kuliah jurusan Bahasa Arab, kalah teu ngarti."[6]
Begitulah kita-kita sepenggal obrolan kami. Tapi kali ini saya gak akan lagi baca sembunyi-sembunyi. Oke, saya memang kuliah Bahasa Arab, tidak lantas saya tidak usah membaca buku Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, Ernest Hemingway atau Gabriel Garcia Marquez kan? Saya juga punya harapan kedepannya mau menyentuh buku-buku sastra Arab. Apalagi setelah tahu Naguib Mahfouz, orang Mesir yang menjadi laureat Nobel Sastra. Tetapi ya saat ini sastra Arab belum menjadi prioritas saya.
Tapi memang ada masanya kok seseorang, --terutama penulis, atau orang yang  sedang belajar menulis seperti saya ini-- harus berhenti membaca buku. Saya pernah baca kisah Bernard Batubara di sini. Kalo lagi nulis sesuatu dan ada ketakutan terpengaruh tulisan lain atau dibayang-bayangi tulisan keren penulis lain. Sehingga tidak percaya diri dengan tulisan sendiri. Itulah masanya untuk berhenti membaca buku.
Saat ini kondisi saya mengharuskan membaca sebanyak mungkin buku dan belajar dari buku-buku yang saya baca. Maka, pesan saya, --sangat klise-- baca bukulah sebelum baca buku itu dilarang!
 Tulisan ini dibuat dalam rangka (Kembali)#MenantangDiri #30HariMenulis


[1] Lungguh tutut : Pribahasa Sunda, artinya kelihatannya seperti pendiam padahal aslinya tidak
[2] “Bacaan kamu begitu terus!”
[3] “Terus harus baca apa?”
[4] “Ya kamu kan jurusan Bahasa Arab.”
[5] “Gak ngeri buku Bahasa Arab.”
[6] “Gimana sih? Kuliah jurusan Bahasa Arab tapi gak ngerti buku berbahasa Arab.”

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Menulis sebagai Passion, Pekerjaan atau Hobi?

Hanya Isyarat [Rectoverso]

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Belajar tentang Gaya Hidup Minimalis dari 5 Youtubers Ini