IDEALISME ATAU SELERA? (Tentang Buku dan Musik)

Saya dan Veri memiliki kegemaran yang berbeda tetapi kerap beririsan. Dia mencintai musik seperti saya mencintai buku. Tetapi dia juga bisa menikmati buku tertentu seperti saya yang menjadi penikmat musik tertentu. Dan sebelumnya obrolan mengenai kedua hal ini layaknya sebuah rel kereta. Dua hal yang bersisian namun tak pernah menemukan titik temu.
Gambar dari sini dengan sedikit perubahan
 Buku dan Profesi Penulis
Suatu hari saya pernah mengeluh, saya menyesal membeli salah buku Pram yang bajakan.
“Rasanya gak bangga aja memajang Bumi Manusia bajakan di rak buku. Serasa aib gitu.”
Lalu dia bilang, yang terpenting dari sebuah buku kan isinya, pemikirannya. Whatever itu buku stensilan atau bercover tebal, yang penting isinya tetap sampai.
"Lagian seharusnya buku itu tidak dijual." Lanjutnya kemudian. Kalimat yang membuat saya terperangah.

Dia menganggap bahwa saat seseorang memiliki ide atau pemikiran, ya tuangkan dalam tulisan, cetak sendiri, bagikan, tidak perlu dijual. Karya seni itu untuk dinikmati bukan dijadikan barang komoditi yang bisa dijual beli.
Saya tidak sepakat dengan apa yang dia katakan. Karena saya mengenal beberapa penulis yang menjadikan menulis bukan hanya sebagai aktivitas berkesenian, tetapi juga sebagai profesi. Kalo demikian ceritanya, bagaimana mereka harus menghidupi dirinya apalagi anak dan istri.
"Ya carilah pekerjaan lain selain menulis. Misalnya mengajar atau jadi wartawan." Ujarnya.
Saya kemudian berpikir bahwa tidak ada salahnya menulis itu dijadikan profesi toh hal itu pula yang dilakukan oleh sastrawan sebelum kita.
Lagian kalo cuman dicetak sendiri, bukan di penerbit mayor pasti terbatas. Gaungnya tidak akan sampai kemana-mana. Kecuali penulisnya kaya dan punya percetakan sendiri. Kalo nerbitin buku di penerbit mayor kan bisa sampai ke seluruh Indonesia. Kalo digratiskan, bukan cuman penulisnya yang harus keluar uang tetapi dari mana menggaji layouter, editor, marketing dan banyak orang lagi yang terlibat pada sebuah penerbitan.
Pada akhirnya seperti biasa percakapan semacam ini akan berlangsung alot dan tidak kunjung menemukan titik temu.

Musik dan Musisi
Saya kemudian mereflesikan apa yang dia katakan dengan bagaimana dia bermusik. Dia bilang dia tahu resikonya sejak awal bahwa kegiatan berkesenian, dalam hal ini seni musik, bukan untuk menghasilkan uang tetapi malah mengeluarkan banyak uang. Misalnya untuk latihan ke studio, biaya rekaman, produksi CD, kaos ataupun stiker yang semuanya butuh biaya.
Dia menunjukkan contoh bagaimana seharusnya berkesenian dengan memberikan saya kaos dan beberapa stiker kepada saya secara cuma-cuma. Kecuali CDnya, karena dalam album tersebut saya hanya bisa menikmati satu lagu dan saya sudah memilikinya dalam format mp3.
Saya juga memperhatikan bagaimana dia memperlakukan musisi lain. Dia sering membeli CD dan aksesoris dari beberapa band indie seperti Pitfall, Ghaust, Kelelawar Malam dll.
Suatu hari dia mengeluhkan kehabisan kaos Ghaust (salah satu band favorit dia).
Saya bilang, “kenapa tidak sablon sendiri, bukannya desain kaosnya ada? Begitu juga dengan CDnya, kenapa harus beli CD, bukankah sudah punya file mp3nya lengkap? Dan kenapa pula para musisi indie memproduksi CD dan aksesoris dan mematok harga? Bukankah harusnya dibagikan cuma-cuma?.” Saya sedikit sarkas, mengingat obrolan kami sebelumnya tentang penjualan buku yang dia tentang.
“Biasanya uang hasil penjualannya hanya untuk mengganti biaya produksi dan ada kepuasan tersendiri ketika memiliki kaos dan CD original, semahal apapun pasti dibeli, asal original. Itu juga salah satu bentuk support kita buat para musisi.” Katanya.
Saya pun kepikiran tentang Bumi Manusia yang tidak asli, saya merasa itu masalah sedangkan buat dia tidak. Begitu juga dengan kaos dan CD saya pikir untuk apa beli CD kalo file mp3nya sudah bertebaran di internet dan bisa diunduh gratis?
Pada akhirnya bukan hanya idealisme yang berbicara tetapi juga selera. Selera adalah sesuatu yang sangat subjektif. Saya mengusahakan untuk membeli buku original, sekalipun saya juga memiliki banyak ebook rasanya selalu ada dorongan untuk membeli versi cetak jika memang bukunya bagus. Sedangkan dia tidak peduli itu buku original apa bajakan. Yang dia pedulikan adalah membeli CD atau aksesoris original dari musisi kesukaannya. Dan saya, jangankan beli aksesoris, saya tidak punya satu CD pun, sekalipun dari musisi favorit saya. 

Selesai membicarakan hal ini, saya bilang mau beli buku Pram selanjutnya yang judulnya Anak Semua Bangsa. 
"Beli yang original yah!" Katanya pada akhirnya.
Kemudian kami tertawa.
Setiap orang, seperti halnya kami, punya idealisme plus selera yang berbeda. Bukan ide bagus untuk memaksakannya.

Tulisan ini dibuat dalam rangka (Kembali) #MenantangDiri #30HariMenulis

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Menulis sebagai Passion, Pekerjaan atau Hobi?

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Hanya Isyarat [Rectoverso]

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Belajar tentang Gaya Hidup Minimalis dari 5 Youtubers Ini