Kota dan Aktivitas Berkesenian


Museum Louvre, Perancis
  Paris, tempat terindah untuk penulis dan seniman. -Adriana dalam Midnight in Paris
Midnight in Paris bercerita tentang seseorang yang sedang menulis novel. Namanya Gil Pender. Gil mengagumi Paris terutama saat hujan dan menurutnya masa terbaik Paris adalah era 20-an. Hingga suatu malam, dia menembus dimensi waktu dan berada di era 20-an.
Tiga menit pertama dari film ini dihabiskan untuk mengeksplor keindahan Paris sebagai pusat seni dunia. Prancis adalah negara yang subur dengan aktivitas berkesenian di bidang sastra, musik, fashion, hingga seni rupa. Saat Gil masuk ke era 20-an dia bertemu dengan penulis dan seniman dari negara lain, seolah ingin mengukuhkan pandangan tentang kota Paris yang menjadi magnet bagi seniman dunia untuk tinggal di sana. Gil berkenalan dengan Scott Fizgerald, Ernest Hemingway, Gertrude Stein, yang semuanya adalah orang Amerika yang memutuskan tinggal di Paris.
Baru-baru ini saya membaca The Geography of Bliss dan menemukan sebuah fakta menarik di bagian cerita tentang Qatar. Bahwa Qatar adalah negara yang tidak memiliki kebudayaan. tidak ada makanan khas, tidak ada kesusastraan, tidak ada seni. Eric Weiner –penulis Bliss, mengatakan:
"...jika Anda menghabiskan beberapa ribu tahun menggaruk-garuk di gurun, mengangkis panas yang padat, belum termasuk invasi berbagai suku, Anda tidak memiliki waktu untuk budaya. Di zaman seperti itu kehidupan dulu terlalu keras bagi budaya. Sekarang ini -Qatar adalah negara kaya di dunia, kehidupan terlalu nyaman bagi budaya."
Saking kayanya negara ini akan uang, dan saking miskinnya dengan kebudayaan, mereka sampai berniat membeli kebudayaan. Tetapi kebudayaan seperti halnya sejarah tidak bisa dibeli. Pada akhirnya mereka hanya bisa membeli karya seni. Doha adalah satu kota di Qatar yang memiliki museum. Benda-benda yang dipamerkan diantarnya kuku-kuku unta dan hal-hal lain yang jauh dari makna seni, jauh dari definisi kata indah.
Sejarawan Inggris, Peter Hall, mengungkapkan (masih di buku Bliss), "Kota-kota kreatif, lingkungan perkotaan yang kreatif adalah tempat turbulensi intelektual dan sosial yang amat baik, bukan tempat yang amat nyaman."
Kemudian saya membandingkan kedua negara tersebut dengan keadaan kota-kota di Indonesia. Kita memiliki banyak kebudayaan, sejarah bernilai tinggi serta kekayaan alam yang tidak akan ada habisnya jika dieksplor dan dituangkan dalam bentuk karya seni. Kota-kota di negara kita bukan hanya surga untuk para traveler tetapi juga penulis dan seniman. 
Saya pernah membaca sebuah artikel di sini, tentang ketertarikan orang luar terhadap Indonesia. Cerita tentang kota --di Indonesia-- adalah cerita yang paling mereka cari. Bukankah ini potensi yang luar biasa? Sehingga tak perlu jauh-jauh ke Paris untuk meningkatkan aktivitas berkesenian, karena negeri kita juga tidak semenyedihkan Qatar bukan?
Tulisan ini dibuat dalam rangka (Kembali)#MenantangDiri #30HariMenulis

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Menulis sebagai Passion, Pekerjaan atau Hobi?

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Hanya Isyarat [Rectoverso]

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Belajar tentang Gaya Hidup Minimalis dari 5 Youtubers Ini